spot at sipora island

spot at sipora island

Rabu, 20 Agustus 2008

Here there are

THE SURF: From North to South (These are the main breaks with many other spots available):

Burgerworld - This is a mushy pointbreak - like righthander. Can offer barrels at times, but usually long rippable walls with many cutback sections.

E-Bay - This is a hollow left that barrels off the take-off with a short wall down the line. A great option when a lot of swell is hitting.

Pit Stops - This is the right off the peak at E-Bay Usually a playful right that can offer some cover-ups off the take-off, but mostly a high performance waves with air sections at the end. Ends in a sandy channel.

Bank Vaults - A heavy righthander that barrels and spits. Usually larger than most spots in the area. Watch out for clean-up sets.

Nipussi - A shorter right that breaks down the point from Bank Vaults. Definitely fun and rippable. Usually has fairly deep water from the takeoff to the inside. Ends in a riptide that sucks all the water back out to sea. A good option when there’s not much swell, and usually the most consistent spot in the area.

Hideaways - A very hollow left that can be shalow at times. It comes out of deep water, then unloads on a shallow section of reef before barreling towards the channel. Can get very shallow at low tides.

No Kanduis - A long barrelling left that wraps around a small island. Usually very sectiony, but can line up on the largest of swells. Many barrels on offer, but usually only makeable for one or two sections before clsing out and racing down the line.

Four B
obs - This is a small peak for when there is heaps of swell, or guys looking for a mellower option. Mainly a right with a short barrell off the takeoff, but quickly dies off into the channel. There’s an even shorter left, but usualy not worth the effort.

Rifles - One of the best waves in the Mentawais. A very long righthander that wraps around the other side of the same island as No Kanduis. Rarely makeable from start to finish, but even just from section to section you can get rides up to 100 yards or longer. Nice and hollow once it’s a few feet overhead, but usually more sectiony at smaller sizes.

Icelands - Another consistent lefthander for when the swell is smaller. Usually always has some riddable surf, even when other breaks are flat.

Telescopes
- A perfect wrapping left reef. Long walls wrap around the reef with very few
sections on larger days. Mostly breaks in pretty deep water, but it can get heavy and shallow on the inside on the bigger days.

Scarecrows
- Breaks off of an island just south of Telescopes. Good lefts but a bit more less predictable and shifty. It’s a short, wedgy wave that
works best on a dropping high tide.

Bintangs - A short and hollow right across the channel from Lance’s Left. As the wave approaches the reef, the bottom drops out before barreling towards the channel.

Lance’s Left - Long left walls wrap down the point before hitting the last section, which is the main take-off area. Great hollow section after the take-off. A bigger gun helps on the larger days.

Hollow Trees (HT’s, Lance’s Right)
- A
great righthander that has been all over the surf mags and videos over the last decade. The main takeoff spot is up the point where most of the waves start barrelling and peel flawlessly down the reef. On larger swells it can be very shifty and hard to read. It can shift more to the end bowl where it can break, reform, then bowl again into the channel. The inside is very shallow and is often referred to as the “surgeon’s table” due to the many reef-cuts doled out to traveling surfers.

Macaronis - One of the most perfect waves in the world. A very hollow wave with many shallow spots. Lefts start from way up the point, then gradually slow down as it approaches the channel. The further up the point you paddle, the faster it barrels when you take-off. After the initial barrel ride, this wave offers one of the most rippable walls for any maneuvers you can think of.

Rags Left - A great lefthander that can hold the biggest swells. It is very hollow and can often dish out some of the heaviest hold-downs in the island chain. Usually a bit more water moving around so a larger board can be useful.

Rags Right - A shorter, hollow right on the southern end of Rags Island. Similar to HT’s only a little shorter, but just as good. It can be fickle, but it’s one of the best rights in the islands.

Thunders - Another large left that picks up and can hold the biggest swells. It’s a top to bottom wave on the outside, that gets a bit mellower on the inside section. Another wave that usually has a lot of water moving, so a bigger board can come in handy.

The Hole - Another very hollow left off a small island in the southern end of the Mentawais. Starts barrelling off the takeoff, but never really stops until a closeout section at the end of the reef. Definitely not a place to strighten out at.

Selasa, 19 Agustus 2008

Tato tertua di dunia


URLIK Tatubeket, lelaki Mentawai berusia 46 tahun asal Pulau Sipora, terpilih sebagai Ketua Dewan Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Peduli Mentawai (AMA-PM) dalam Kongres Masyarakat Adat Mentawai, di Tuapejat, Sipora, dua tahun lalu.

Sebagai ketua sebuah organisasi yang mengatasnama masyarakat adat, Urlik terkesan jauh dari sosok seorang Mentawai yang dikenal melalu foto-foto selama ini. Begitu juga dengan 265 peserta kongres, sebagian besar laki-laki, yang datang dari berbagai pelosok kampung di Kepulauan Mentawai.

Urlik dan mereka tak satupun yang memiliki tato penghias tubuh sebagai seorang Mentawai. Padahal tato yang oleh orang Mentawai disebut ‘titi', adalah bagian dari kebudayaan Mentawai yang penting. Setidaknya, ini telah bisa membuktikan bahwa tradisi tato sudah mulai ditinggalkan oleh orang Mentawai.

"Sejak tahun 1950-an, setelah pemerintah mewajibkan penduduk harus memeluk salah satu dari lima agama besar yang diakui pemerintah, orang Mentawai tak lagi menghias tubuhnya dengan tato, kecuali di beberapa kampung pedalaman di Siberut yang masih ada hingga kini," kata Urlik.

Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan adalah tiga pulau di mana orang Mentawai yang berdiam di sana tak lagi menato dirinya sejak 1950-an. Menurut Urlik, di Pulau Sipora yang orang Mentawainya kini sekitar 8.000 jiwa, yang masih memiliki tato tak lebih dari 10 orang. Tiga laki-laki dan selebihnya perempuan. Usia mereka di atas 70 tahun.

Hal yang sama juga terjadi di Pagai. Meski dihuni lebih 11.000 orang Mentawai, yang masih memiliki tato juga tak lebih dari 10 orang. Mereka juga berumur di atas 70 tahun.

"Bisa dipastikan, dalam 20 tahun ke depan tidak akan ada lagi orang Mentawai Sipora dan Pagai yang memiliki tato di tubuhnya," katanya.

Ada beberapa penyebab, menurut Urlik, kenapa tato hilang di Sipora dan Pagai. Pertama, ajaran agama yang melarang kepercayaan Arat Sabulungan, kepercayaan kepada roh-roh, dan menganggap tato bagian dari kepercayaan itu.

Kedua, upacara membuat tato diawali dengan rangkaian upacara lain yang lama (paling cepat enam bulan) dan banyak pantangan (larangan). Upacara ini disebut ‘punen'. Karena itu banyak orang Mentawai yang tidak ingin menjalankannya karena sangat berat.

Ketiga, ada rasa malu bagi orang Mentawai, terutama yang bersekolah ke luar daerah untuk menato dirinya, karena dianggap orang lain sebagai lambang keterbelakangan dan primitif. Kelompok orang Mentawai modern ini merasa lega terlepas dari budaya Arat Sabulungan.

Malu Karena Tidak 'Bulepak'

Protestan yang masuk ke Mentawai sejak 1901, menurut Urlik, merupakan agama yang paling keras melarang kepercayaan lama orang Mentawai dibanding Katolik yang masuk sejak 1955 dan Islam sejak 1952. Karena itu, Sipora dan Pagai yang mayoritas memeluk agama Protestan lebih cepat hilang kebudayaannya, termasuk tradisi tato.

"Saya masih ingat waktu kecil ada orang Mentawai bertato yang diusir dari jemaat oleh pendeta," kata Urlik yang juga pendeta GKPM (Gereja Kristen Protestan Mentawai) Saurenuk, Sipora.

Untuk bisa menato diri, suatu suku di Sipora harus melakukan ‘punen' yang paling cepat menghabiskan waktu enam bulan. Punen dimulai dengan mendirikan uma (rumah adat khas Mentawai) dengan memotong sejumlah babi dan mengikuti berbagai pantangan. Di antaranya tidak boleh melakukan seks dengan istri, tidak boleh memandang wanita, tidak boleh makan dan minum sebelum acara makan dan minum bersama, dan sebagainya.

"Acara puncak punen adalah dengan melakukan perjalanan ke Pulau Siberut sebagai asal orang Mentawai, acara itu disebut ‘Bulepak', ke sana naik sampan sampai 40 orang, jika sudah kembali dengan selamat menempuh ombak yang besar dari Siberut dengan membawa manik-manik khas Siberut, maka semua warga suku sudah boleh menato diri," kata Urlik.

Upacara seperti inilah yang berat dilakukan orang Sipora. Menurut Urlik, acara ‘Bulepak' terakhir yang dilakuan orang Sipora pada 1950-an. Setelah itu tidak ada lagi orang Mentawai di Sipora yang melakukan itu. Akibatnya, mereka tidak berani menato diri, karena syaratnya tidak ada.

"Mereka malu menato diri karena tidak pernah ‘Bulepak', setelah itu tak ada lagi orang Sipora yang bertato, hal yang sama juga terjadi di Pagai," katanya.

Ditato Itu Sakit

Di Siberut, pulau terbesar di Kepulauan Mentawai dan merupakan pusat dan asal kebudayaan Mentawai, masih ada sejumlah kampung pedalaman yang masih menggunakan tato. Di kampung-kampung di Sarereiket, Ugai, Matotonan, Madobak, Simatalu, Sakudei, dan Simalegi penduduknya masih memakai tato.

Meski di beberapa kampung para pemuda dan gadis yang mulai dewasa tetap ditato tubuhnya, namun yang meninggalkan tradisi tato jauh lebih banyak. Umumnya mereka yang sudah berinteraksi dengan dua modern, seperti melanjutkan pendidikan ke SMP dan SMA yang hanya terletak di ibukota kecamatan atau ke Padang.

"Umumnya kampung-kampung yang tradisi tatonya masih ada adalah yang menganut Katolik, sebab Katolik lebih longgar dan tidak sekeras Protestan melarang mereka, tetapi anak-anak muda yang bersekolah tak lagi mau ditato," kata Urlik.

Tradisi bertato memang mulai ditinggalkan di Mentawai, seiring dengan pangaruh dunia luar. Jika dulu orang yang bertato dianggap sebagai lambang orang yang sehat dan kuat di Mentawai, kini anggapan itu telah beralih sebagai orang yang terbelakang.

"Ditato itu sakit dan lagian lambang primitif," kata Gerson Saleleubaja, 24 tahun, pemuda asal Maileppet, Siberut Selatan, yang kini menjadi jurnalis di Tabloid Puailiggoubat, sebuah koran lokal di Mentawai.

Terlepas dari itu, sebenarnya tato tradisional Mentawai adalah khazanah dunia. Ady Rosa, peneliti tato Indonesia dari Jurusan Seni Rupa, Universitas Negeri Padang, menyimpulkan bahwa tato Mentawai termasuk tato tertua di dunia.

Sayang, belum banyak yang meneliti jenis dan makna tato di Mentawai. Ady Rosa sendiri baru meneliti penggunaan tato pada orang Mentawai di sejumlah kampung di Siberut dan belum meneliti tato di Sipora dan Pagai. Padahal, menurut Urlik, tato Sipora dan Pagai memiliki perbedaan tertentu dari tato Siberut.

Misalnya, di Sipora ada tato tiga garis lengkung di pipi dan satu garis lurus dari dagu hingga leher. Tato-tato ini belum diteliti dan akan segera hilang karena pemakainya yang sudah uzur.

160 Motif Tato

Tato oleh orang Mentawai tak hanya berfungsi untuk keindahan tubuh, tetapi juga lambang yang menunjukkan posisi atau derajat orang yang memakainya.

Ady Rosa, peneliti tato dari Jurusan Seni Rupa, Universitas Negeri Padang menyimpulkan, seni tato yang oleh orang Mentawai disebut ‘titi' mulai dikenal di Mentawai sejak orang Mentawai datang antara tahun 1500 sampai 500 Sebelum Masehi. Mereka adalah suku bangsa protomelayu yang datang dari Yunan, kemudian berbaur dengan budaya Dongson.

"Tato di Siberut sudah jauh sebelum bangsa Mesir mulai membuat tato sekitar tahun 1300 SM, jadi bukan tato Mesir yang tertua di dunia, tapi tato Mentawai," katanya.

Ady Rosa dalam laporan hasil penelitiannya berjudul ‘Fungsi dan Makna Tato Mentawai' (2000) menyimpulkan, ada tiga fungsi tato bagi orang Mentawai. Pertama, sebagai tanda kenal wilayah dan kesukuan yang tergambar lewat tato utama. Ini semacam kartu tanda penduduk (KTP).

Kedua, sebagai status sosial dan profesi. Motif yang digambarkan tato ini menjelaskan apa profesi si pemakai, misalnya sikerei (tabib dan dukun), pemburu binatang, atau orang awam. Ketiga, sebagai hiasan tubuh atau keindahan. Ini tergambar lewat mutu dan kekuatan ekspresi si pembuat tato (disebut ‘sipatiti') melalui gambar-gambar yang indah.

Menurt Ady, ada sekitar 160 motif tato yang ada di Siberut. Masing-masing berbeda satu sama lain. Setiap orang Mentawai, baik laki-laki maupun perempuan bisa memakai belasan tato di sekujur tubuhnya.

Pembuatan tato sendiri melewati proses ritual, karena bagian dari kepercayaan Arat Sabulungan (keparcayaan kepada roh-roh). Bahan-bahan dan alat yang digunakan didapat dari alam sekitarnya. Hanya jarum yang digunakan untuk perajah yang merupakan besi dari luar. Sebelum ada jarum, alat pentatotan yang dipakai adalah sejenis kayu karai, tumbuhan asli Mentawai, yang bagian ujungnya diruncingkan.

Sipatiti (pembuat tato) adalah seorang lelaki dan tidak boleh perempuan. Sebelum pembuatan tato harus diadakan ‘punen patiti' (upacara pentatoan). Upacara dipimpin oleh seorang sikerei. Upacara yang dilakukan dengan menyembelih beberapa ekor babi ini harus dibiayai oleh orang yang ditato dan hanya dilakukan pada awal pentatoan.

Membuat tato di Mentawai dilakukan tiga tahap. Tahap pertama pada saat seseorang berusia 11-12 tahun, dilakukan pentatoan di bagian pangkal lengan. Tahap kedua usia 18-19 tahun dengan menato bagian paha. Tahap ketiga setelah dewasa.

Proses pembuatan tato memakan waktu dan diulang-ulang. Tentu saja menimbulkan rasa sakit dan bahkan menyebabkan demam

Spot

web11">"

Mentawai Island is 2nd of top 10 of the world best surf spot

The Mentawai Islands are a wave-rich chain of about seventy islands and islets off the western coast of Sumatra in Indonesia, one of the most consistent surf destinations in the world. There are four main islands (Siberut, Sipora, North Pagi, and South Pagi) that block most swells from reaching the mainland on Sumatra, which became noted destinations for wave-hunters that are looking for some of the most perfect surfingexperiences in the world. Access is by sea only with ferries and charter boats.

Go there from March to October, but keep in mind that the biggest swells are likely to occur in June - September. Waves are facing almost every direction mainly because the winds are variable, so it’s easy to find a break with offshore conditions. Top Mentawai waves include Bankvaults, Lance’s Left and Lance’s Right, Macaronis, and for the less experienced there is Gilligan’s. Most of the surfers spend at least $125 a day so you should expect to pay for such an experience.

Mentawai



Mentawai adalah nama sebuah kepulauan terletak ±150 km di Samudra Hindia yang terdiri dari empat pulau utama yaitu pulau Siberut, Sipora, pulau Pagai Utara dan pulau Pagai Selatan (yang dikelilingi oleh pulau-pulau kecil) yang dihuni oleh masyarakat suku Mentawai di lepas pantai Sumatra Barat, sekaligus nama kabupaten.

Kabupaten ini memiliki luas wilayah 601 km² dan populasi 64.235 jiwa. Ibu kotanya ialah Tuapejat. Kabupaten ini terbagi menjadi 4 kecamatan dan lagi menjadi 40 desa.